Category: Islam


Hadist of the day:

“Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya Dia selalu di depanmu. Jika mau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Jka mau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, andai seluruh umat bersatu untuk memberimu keberuntungan, niscaya mereka takkan memberimu keberuntungan di luar yang telah ditetapkan Allah untukmu. Demikian pula, seandainya mereka bersatu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka takkan mencelakakanmu di luar yang telah ditetapkan Allah untukmu. Pena telah diangkat, lembaran kertas telah kering-kertas”.

At-Tirmidzi 2516-2518

Qur’an of the day:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2)

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, (3)

Yang menguasai hari pembalasan (4)

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (5)

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (6)

[yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni‘mat kepada mereka; bukan [jalan] mereka yang dimurkai [orang-orang yang mengetahui kebenaran dan meninggalkannya], dan bukan [pula jalan] mereka yang sesat [orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena ketidaktahuan dan kejahilan]. (7)

 

QS Al-Fatihah: 1-7

Apa itu Kalender Hijriah?

Kalender Hijriah atau Kalender Islam adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran Matahari.

Sistem dalam Kalender Islam

Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (Bulan).  Oleh karena itu, Kalender Hijriah juga memiliki 12 bulan dalam satu tahun. Namun, jumlah hari dalam satu tahun Kalender Hijriah lebih pendek kurang lebih 11 hari dari kalender Masehi, yakni hanya 354 hari. Hal ini karena jumlah hari dalam satu bulan dalam Kalender Hijriah berkisar antara 29-30 hari. Variasi jumlah hari dalam satu bulan bergantung pada posisi Bulan, Bumi dan Matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya Bulan Baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara Bulan dan Bumi, dan pada saat yang bersamaan, Bumi berada pada jarak terdekatnya dengan Matahari (perihelion). Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya Bulan Baru di titik perige, yaitu jarak terdekat Bulan dengan Bumi dengan bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari (aphelion).

Penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal pada Kalender Hijriyah berbeda dengan pada Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya Matahari di tempat tersebut. Sedangkan penentuan awal bulan ditandai dengan munculnya hilal atau penampakan (visibilitas) Bulan Sabit pertama kali setelah bulan baru. Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.

Visibilitas Hilal

Sejarah Penetapan Kalender Hijriah

Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriah dilakukan 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Namun demikian, sistem yang mendasari Kalender Hijriah telah ada sejak zaman pra-Islam, dan sistem ini direvisi pada tahun ke-9 periode Madinah.

Sebelum datangnya Islam, di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara Bulan (komariyah) maupun Matahari (syamsiyah). Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting pada tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan “Tahun Gajah”, karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu provinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab. Suatu hari, Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin (Pemimpin Umat Islam), Khalifah Umar bin Khatab, yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad atau tahun lahir Rasulullah saw. Ada yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul.  Ada juga yang mengusulkan pula awal patokan penanggalan Islam adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab. Tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, namun tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi pada bulan September 622 Masehi

Nama-nama Bulan di Kalender Hijriah

Nama-nama dari 12 bulan dalam Kalender Hijriyah diambil dari nama-nama bulan yang telah ada sebelumnya dan berlaku di wilayah Arab. Empat diantara duabelas bulan dalam kalender Hijriah adalah bulan haram atau bulan yang disucikan. Di bulan-bulan ini tidak diperbolehkan (haram) untuk berperang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT,

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah :36).

Berikut adalah nama-nama bulan dalam Kalender Islam atau Kalender Hijriah:

1. Muharram

2. Safar

3. Rabiul awal

4. Rabiul akhir

5. Jumadil awal

6. Jumadil akhir

7. Rajab

8. Sya’ban

9. Ramadhan

10. Syawal

11. Dzulkaidah

12. Dzulhijjah

 

 

Selamat Tahun Baru Hijriah

Semoga kita semua termasuk kedalam orang-orang yang senantiasa memberbaiki diri dan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dihadapan Sang Pencipta

 

 

Apa itu tahun Kalender Hijriah?

See on my next post

 

 

Have a nice day

For the Better Future

 

## Ramadhan Edition

 

Berikut ini adalah rekaman video ceramah/tausiyah dari KH. Abdullah Gymnastiar saat kunjungannya ke kota Göttingen, Jerman pada tanggal 25 Mei 2012 yang lalu. Alhamdulillah beliau telah memenuhi permintaan dari warga Indonesia di kota itu untuk menjadi penceramah dalam memeriahkan Tabligh Akbar yang diorganisir oleh warga Indonesia muslim yang tergabung dalam Pengajian KALAM. Topik dari ceramah yang diadakan di Mesjid Al-Iman, Göttingen ini adalah: “Bagaimana Agar Hidup Ini Diurus Allah?”. Selamat mengikuti, semoga kita semuanya dapat mengambil hikmah dan manfaat yang banyak dari apa yang telah Aa Gym sampaikan dalam ceramahnya.

 

 

 

 

Semoga Ramadhan kali ini lebih baik dan lebih berkualitas dari Ramadhan sebelum-sebelumnya. Aamiin.

-Ramadhan Kareem-

Pakaian Bernama Malu

 

 

“Bunda senang kalau Adam nggak pemalu?“ Pertanyaan yang disampaikan dengan sorot mata jernih dari bungsu saya, seharusnya mudah saja dijawab. Saking mudahnya barisan kalimat bahkan telah menari-nari di ujung lidah. Tetapi, satu pikiran memaksa saya memberi jeda sebelum membuka mulut.

Benarkah saya senang jika anak-anak tidak menjadi seorang pemalu?
Secara umum ya.

Saya rasa akan memudahkan orang tua jika ananda mudah bergaul, tidak bersembunyi di balik tubuh orang tua, saat teman-teman lain bermain bersama. Atau berlomba-lomba mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan guru di kelas. Tetapi, sebuah hadis membuat persoalan malu ini menjadi tidak sesederhana itu.

Sebab, memiliki rasa malu juga merupakan pesan dari nabi-nabi terdahulu sampai yang terakhir. Dalam skala yang lain, malu bisa jadi merupakan satu kata kunci yang bisa membuat setiap bangsa menjadi besar dan maju. Dan, saya kira si bungsu harus tahu tentang ini. Saya pandang matanya saat mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari.

Hadis tersebut berbunyi, “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah apa yang engkau suka.“ Sedangkan, kakaknya yang baru saja bergabung dalam diskusi kecil kami, tampak merenung. Si bungsu saya terlihat bingung mendengar kutipan di atas sehingga saya harus memberikan tambahan penjelasan.

Rasa malu adalah sesuatu yang harus dilekatkan dalam diri jika itu bisa menjadi tameng dari keinginan berbuat buruk. Jika punya rasa malu, tidak mungkin sebuah lembaga tinggi negara merenovasi bagian dalam gedung seluas sekitar 100 meter persegi dengan biaya Rp 20 miliar dan menganggarkan dana Rp 24 juta hanya untuk sebuah kursi.

Jika masih terselip rasa malu, tidak mungkin terjadi seorang yang bersalah diberikan hadiah kebebasan dan seorang yang tidak bersalah dijatuhkan vonis hukuman. Jika malu masih menyatu dengan diri, tidak akan ada petugas yang dengan sukacita memungut uang yang dilempar sopir bus atau truk dari kendaraannya.

Dan, jika malu masih menjadi pakaian diri, mustahil ada tokoh agama yang memilih dan memutuskan mana yang hak dan mana yang batil semata-mata berdasarkan pesanan atau mengenyahkan rasa malu sebab takut pada hal-hal yang bersifat duniawi. Lalu, apa artinya rasa malu dalam keluarga?

Jika ada rasa malu, tidak mungkin seorang ayah berlama-lama menganggur di rumah, membiarkan ekonomi keluarga tertumpu di pundak istri, atau lebih parah lagi mengandalkan anak belasan tahun yang terpaksa berhenti sekolah demi menopang kehidupan keluarga.

Jika rasa malu terlekat kuat, tidak akan ada ayah yang tega menghabiskan uang untuk merokok ketika keperluan sekolah anak-anak dan kebutuhan lain keluarga masih tak bisa ia penuhi. Rasa malu juga yang akan mencegah seorang bunda untuk sibuk dengan ponsel, chatting, bermain Facebook atau Twitter, ketika ananda di dekatnya kebingungan mengerjakan pekerjaan rumah.

Pun, rasa malu yang membuat orang berpikir ulang bergonta-ganti gadget, ponsel, mobil, dan pameran kemewahan lainnya, sementara di sekitar mereka berseliweran kemiskinan dalam berbagai rupa. “Tetapi, bukannya nggak boleh jadi anak pemalu, Bunda?“ Telah beberapa jam lewat dari pertanyaannya yang pertama. Di dekatnya, si kakak tampak menggaruk-garuk kepala yang mungkin tidak gatal.

Tidak ada kata malu dalam jalan kebaikan. Tidak ada malu yang boleh dibiarkan hingga seseorang kehilangan banyak kesempatan memberi manfaat lebih besar bagi orang lain. Tetapi, dengan rasa malu, seseorang akan berhenti sebelum melakukan keburukan sekalipun belum ada hukum negara yang dilanggar.

Sebaliknya, seseorang akan terdorong untuk melakukan banyak kebaikan meskipun tidak ada yang memberikan instruksi. Sebab, malu adalah ajaran para nabi. Sebab, malu merupakan sebagian dari iman yang harus abadi di dalam dada. Dan percayalah, jika pakaian bernama malu masih kita kenakan, kita akan lebih sering menudingkan telunjuk ke diri sendiri ketimbang kepada orang lain. By Asma Nadia (writer)

 

Taken from Republika, 5th February 2012

 

Do you know about hijab in Islam? In Islamic country or maybe around of you, you will see many Muslim women wear hijab. Do you know why hijab is so important in Islam?

 

For me who was born in religious family, hijab is not the new thing. I always see my mother wear hijab when she goes out. So does my sister. Most of the girls in my school also do the same.

 

If you ask them why they should wear hijab, I’m sure that you will hear various answers. Some says: “We are Muslim. We have to follow what’s written in Quran as our guidance.” Some might be say: “Actually I don’t like it, but my parents want me to wear this”. Another says: “It’s fashionable, don’t you see it?” or “I just follow my friends”.      

 

There are a lot of reason why they use hijab. But basically, for all Muslim, we have to wear hijab as written in our holy book, Quran, 24:30-31 (see in the writing-red). Then, what’s the reason why God told us to do this?

 

There must be a reason right?

 

If you want to know more, try to read this until finish. I’m sure that you will not get bored to read this writing…

 

 

 

Before we go further, would you like to read first about the condition of women in our history?

 

Babylonian Civilization:
The women were degraded and were denied all rights under the Babylonian law. If a man murdered a woman, instead of him being punished, his wife was put to death.

Greek Civilization:
Greek Civilization is considered the most glorious of all ancient civilizations. Under this very ‘glorious’ system, women were deprived of all rights and were looked down upon. In Greek mythology, an ‘imaginary woman’ called ‘Pandora’ is the root cause of misfortune of human beings. The Greeks considered women to be subhuman and inferior to men. Though chastity of women was precious, and women were held in high esteem, the Greeks
were later overwhelmed by ego and sexual perversions. Prostitution became a regular practice amongst all classes of Greek society.

Roman Civilization:
When Roman Civilization was at the zenith of its ‘glory’, a man even had the right to take the life of his wife. Prostitution and nudity were common amongst the Romans.

Egyptian Civilization:
The Egyptian considered women evil and as a sign of a devil.

Pre-Islamic Arabia:
Before Islam spread in Arabia, the Arabs looked down upon women and very often when a female child was born, she was buried alive. Have a daughter is just like a disgrace that time. (This is real happened, you can asked the Arabian people about this).

 

What do you think about them? How about current condition? Is it getting better or…

 

Commonly, people, who don’t know Islam well, only know that hijab is only for women. Well, that’s not true. Even the Quran explained the hijab for men before hijab for women. Let’s see what Quran said in Surah Noor about hijab for men:

 

“Say to the believing men that they should lower their gaze and guard their modesty: that will make for greater purity for them: and Allah is well acquainted with all that they do.” (Al-Qur’an 24:30)

The moment a man looks at a woman and if any brazen or unashamed thought
comes to his mind, he should lower his gaze.

 

The next verse of the same Surah, it’s written in Quran:

“And say to the believing women that they should lower their gaze and guard their modesty; that they should not display their beauty and ornaments except what (must ordinarily) appear thereof; that they should draw veils over their bosoms and not display their beauty except to their husbands, their fathers, their husbands’ fathers, their sons…” [Al-Qur’an 24:31]

 

According to Qur’an and Sunnah there are basically six criteria for observing hijab:

1. Extent:
The first criterion is the extent of the body that should be covered. This is different for men and women. The extent of covering obligatory on the male is to cover the body at least from the navel to the knees. For women, the extent of covering obligatory is to cover the complete body except the face and the hands upto the wrist. If they wish to, they can cover even these parts of the body. Some scholars of Islam insist that the face and the hands are part of the obligatory extent of ‘hijab’.

All the remaining five criteria are the same for men and women.

2. The clothes worn should be loose and should not reveal the figure.
3. The clothes worn should not be transparent such that one can see through them.
4. The clothes worn should not be so glamorous as to attract the opposite sex.
5. The clothes worn should not resemble that of the opposite sex.
6. The clothes worn should not resemble that of the unbelievers i.e. they should not wear clothes that are specifically identities or symbols of the unbelievers’ religions.

 

Hijab is not only about the clothes that we wear. Complete ‘hijab’, besides the six criteria of clothing, also includes the moral conduct, behaviour, attitude and intention of the individual. A person only fulfilling the criteria of ‘hijab’ of the clothes is observing ‘hijab’ in a limited sense. ‘Hijab’ of the clothes should be accompanied by ‘hijab’ of the eyes, ‘hijab’ of the heart, ‘hijab’ of thought and ‘hijab’ of intention. It also includes the way a person walks, the way a person talks, the way he behaves, etc.

 

Do you believe that hijab can prevent molestation?

 

Well, I do. It’s written in Quran in Surah Al-Ahzab:

 

“O Prophet! Tell thy wives and daughters, and the believing women that they should cast their outer garments over their persons (when abroad); that is most convenient, that they should be known (as such) and not molested. And Allah is Oft-Forgiving, Most Merciful.” [Al-Qur’an 33:59]

 

The Qur’an says that Hijab has been prescribed for the women so that they are recognized as modest women and this will also prevent them from being molested. Cool.

 

Here’s the example of twin sisters. Let’s think together.

Suppose two sisters who are twins, and who are equally beautiful, walk down the street. One of them is attired in the Islamic hijab i.e. the complete body is covered, except for the face and the hands up to the wrists. The other sister is wearing western clothes, a mini skirt or shorts. Just around the corner there is a hooligan or ruffian who is waiting for a catch, to tease a girl. Whom will he tease? The girl wearing the Islamic Hijab or the girl wearing the skirt or the mini? Naturally he will tease the girl wearing the skirt or the mini. Such dresses are an indirect invitation to the opposite sex for teasing and molestation. The Qur’an rightly says that hijab prevents women from being molested.

 

Do you know what kind of punishment can be given for those who raped a woman under Islamic law?

Here is the answer of Dr. Zakir Naik in one open discussion.

“Under the Islamic shariah (Islamic law), a man convicted of having raped a woman, is given capital punishment. Many are astonished at this ‘harsh’ sentence. Some even say that Islam is a ruthless, barbaric religion! I have asked a simple question to hundreds of non-Muslim men. Suppose, God forbid, someone rapes your wife, your mother or your sister. You are made the judge and the rapist is brought in front of you. What punishment would you give him? All of them said they would put him to death. Some went to the extent of saying they would torture him to death. To them I ask, if someone rapes your wife or your mother you want to put him to death. But if the same crime is committed on somebody else’s wife or daughter you say capital punishment is barbaric. Why should there be double standards?”

 

United States of America is supposed to be one of the most advanced countries of the world. It also has one of the highest rates of rape in any country in the world. According to a FBI report, in the year 1990, every day on an average 1756 cases of rape were committed in U.S.A alone. Later another report said that on an average everyday 1900 cases of rapes are committed in USA. The year was not mentioned. May be it was 1992 or 1993. May be the Americans got ‘bolder’ in the following years.

Consider a scenario where the Islamic hijab is followed in America. Whenever a man looks at a woman and any brazen or unashamed thought comes to his mind, he lowers his gaze. Every woman wears the Islamic hijab, that is the complete body is covered except the face and the hands up to the wrist. After this if any man commits rape he is given capital punishment. In such a scenario, will the rate of rape in America increase, will it remain the same, or will it decrease?

 

This is how Islam respect the women by protect them from molestation and rape.

 

NB: I got the information about this from the book written by Dr. Zakir Naik, a medical doctor from India, Answers To Non Muslims Common Questions About Islam.

Healing by Sami Yusuf

 

 

Let’s refresh our hearth and mind…

 

 

Insha’Allah means…

 

What do you usually say when you make an appointment or promise with your friend or your relation or other people?

 

Let’s say, “I will meet you tomorrow”

 

or, “I will arrive at home at 21.00 pm

 

or, “I will win this racing”

 

 

Is there anything’s wrong?

 

Not really. But for muslim, there is a little bit correction. In  Islam, we also usually put some words when we make appointment or promise to the other. Insha’Allah (from Arabic language), means “If Allah will”.    

 

 

Why? Because we will never know our destiny. There is no guarantee if we can complete our appointment or our promise. When we say to our friend, “We will meet you tomorrow”, no one can guarantee that we really can meet your friend. May be there will be something that we don’t really expect so we all can not meet at all tomorrow. Who knows. Let’s say, we or our friend get sick, or the tire of our bicycle is flat and we don’t have money to go by bus, or our mother needs our help, or there is flood or other disasters so we can not go out. See, we can not control the world. But Allah can. And He Knows everything. He Knows what was and what is yet to happen and what is not to be. If we can complete our appointment or your promise, it means that Allah will it. And we should thanks to Allah for it. 

 

So did Marco Simoncelli. When he said to his manager, “I will win this racing” last month, there was no one who could guarantee even if he (Simmoncelli-red) could reach the finish line. You know what’s the rest of his story.

 

This  philosophy is written in Quran and taught by Prophet Muhammad (peace be upon him),

 

 

“And never say of anything, “I shall do such and such thing tomorrow”. Except (with the saying), “If Allâh will!” And remember your Lord when you forget.” (Q.S. Al-Kahf: 23-24)

 

 

See also my writing about The Best For Youb